Translate

Tuesday, April 30, 2013

Berkumpulnya Hobi Tradisional dan Modern di TOYS & HOBBY FAIR 2013

Pada bulan April tanggal 24 -28 April lalu, telah dihelat SUPERMAL TOYS & HOBBY FAIR yang berlokasi di atrium utama Supermall Pakuwon Indah (SPI) Surabaya. Saya yang saat itu kebetulan berada di lokasi, akan melaporkan beberapa hal yang dirasa menarik selama lebih kurang dua hari (27-28 April) di sana.


Replika Karakter Ironman Skala 1:1 Turut Dipamerkan di Atrium untuk Menyambut Pengunjung
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)

Sesuai namanya, pameran ini menjadi tempat berkumpulnya para peminat, maupun komunitas dan retailer yang berkecimpung dalam dunia permainan dan produk-produk hobi. Ada juga macam-macam pertunjukan seperti demo dari game-game rilisan terbaru, kompetisi video game dan card game, maupun cosplay (costume playing) performance.

Suasana Kompetisi Card Game di Lokasi Pameran
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)

Penjuru atrium tampak penuh sesak dengan pengunjung dan stand - stand yang menampilkan berbagai produk, baik mainan maupun produk lainnya untuk anak atau dewasa. Hampir semua mainan yang dihadirkan berkesan serbamodern, antara lain produk-produk seperti action figure, collectible card, atau video games. Tapi kalau kita mengamati lokasi pameran secara menyeluruh, akan tampak sebuah stand yang kelihatan beda di salah satu sudut karena menjadi satu-satunya yang tidak mempertunjukkan mainan-mainan serba canggih dan bermerek. Stand milik Dunia Edukatif ini, hanya menawarkan buku cerita bergambar untuk anak- anak dan papan permainan bersifat edukatif yang tampak sederhana.

  Stand Dunia Edukatif yang Tersembunyi di Balik Stand Papercraft dan Action Figure
(lihat foto bagian kanan belakang)
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)

Saya coba bertanya ke penjaga stand di sana--yang kebetulan menyapa duluan--tentang motivasi mereka membuka stand produk edukasi di acara ini,

“Gini mbak… jaman sekarang anak-anak kan kebanyakan lebih suka main yang praktis-praktis gitu ketimbang baca atau main yang seperti ini (menunjuk salah satu produk-red),” ungkap Lany, staff perwakilan dari Dunia Edukatif. “Padahal kalau terus-terusan pakai mainan seperti gadget elektronik gitu, kepekaan indera anak jadi susah berkembang. Makanya dengan adanya acara ini kami coba promosikan lagi produk-produk seperti ini.”

Singkat kata, beliau membicarakan tentang kecenderungan beraktivitas anak zaman sekarang. Beliau juga menjelaskan benefit dari beberapa produk yang dipajang di sana, seperti mainan berupa buku pop-up, gambar geser yang mengasah logika, buku cerita bergambar berbahan kain yang didesain agar aman saat disentuh anak-anak, buku bertekstur yang bisa mengasah kepekaan indera peraba dan motorik anak yang sampai saat ini masih belum bisa digantikan oleh gadget elektronik yang sedang nge-trend.

Buku-Buku Cerita Bergambar dan Mainan yang Dipajang oleh Stand Dunia Edukatif
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)

Sekilas, stand ini seperti salah lokasi karena sebagian besar stand dalam pameran berasal dari komunitas atau retail yang menawarkan produk-produk modern berkaitan dengan hobi para ‘otaku’ (maniak). Namun sesungguhnya, acara TOYS & HOBBY FAIR sendiri bertujuan mengumpulkan hobi masyarakat yang beragam selama masih berkaitan dengan tema acara, termasuk kemungkinan adanya penghobi baca maupun peminat mainan tradisional. Di sisi lain, cukup melegakan bahwa ternyata di tengah-tengah acara yang dikelilingi oleh teknologi canggih dan modernitas, masih ada yang masih berusaha memperjuangkan nilai-nilai edukasi tradisional yang sepertinya sudah sedikit terlupakan oleh generasi sekarang. 

Sunday, April 14, 2013

Fairy Tale Into Live Action Movie…Another Trend in The Future?

(PERINGATAN : ULASAN BERIKUT INI MENGANDUNG SPOILER DARI FILM-FILM YANG DIULAS)

Setelah dunia diberondong dengan film layar lebar berdasarkan tokoh-tokoh komik superhero Marvel - DC, beberapa tahun belakangan ini muncul sebuah fenomena baru yang mengetengahkan kisah-kisah fairy tale (dongeng klasik) sebagai  trend film layar perak.

Mengadaptasi kisah dongeng menjadi sebuah film sebetulnya memang bukan sebuah hal baru. Terutama bagi Walt Disney Pictures, yang sejak awal masa berdirinya telah sukses mengadaptasikan kisah-kisah dongeng klasik ke dalam bentuk animasi untuk target konsumen keluarga. Sebut saja “Snow White” (1937); “Pinnochio” (1940); dan banyak lagi dongeng yang telah diangkat menjadi film animasi layar lebar. Kesemuanya merupakan adaptasi langsung dengan hanya beberapa perubahan detail yang tidak menyeluruh pada nuansa maupun jalan cerita (pengecualian pada film “The Little Mermaid” (1989), yang benar-benar mengubah akhir kisahnya menjadi berkebalikan dengan kisah asli karangan H.C Andersen).
   
Film-film Adaptasi Dongeng Karya Disney, “Snow White” (1937) & “Pinnochio” (1940)
(Sumber Gambar : fanpop.com )

Kembali ke adaptasi dongeng keluaran masa kini, yang diawali dengan kemunculan “Alice in Wonderland” arahan Tim Burton pada 2010. Film ini merupakan ‘sekuel’ hasil gabungan dua buku Lewis Caroll yang berjudul “Alice Adventures in Wonderland” (“Alice di Negeri Ajaib”) dan “Through The Looking Glass” (“Alice di Negeri Cermin”). Adegan dalam film menyatukan CGI (Computer Graphic Imagery) nan memukau dari segi visual dengan aktor-aktris sungguhan, dan mengambil setting 10 tahun sejak Alice Kingsleigh mengunjungi Wonderland untuk pertama kali.

“Alice in Wonderland” oleh Tim Burton (2010)

Melihat animo masyarakat yang menerima film tersebut dengan cukup baik, film yang dibuat berdasarkan cerita-cerita dongeng dunia pun akhirnya semakin banyak bermunculan di tahun-tahun berikutnya. Menariknya, ada beberapa ciri menonjol pada film-film tersebut yang seolah mengikuti jejak “Alice in Wonderland”. Antara lain adalah bentuknya tidak sekedar animasi lagi melainkan live action yang dipadu padankan dengan setting dan efek visual berbasis CGI, misalnya pada film “Oz The Great and Powerful” hasil penyutradaraan Sam Raimi.

 “Oz The Great and Powerful” (2013)
(Sumber Gambar: nerdist.com )

Ciri kedua adalah nuansa cerita yang cenderung ‘gelap’ dan terkesan ‘dewasa’. Seperti pada film “Red Riding Hood” (2011) yang disutradarai oleh Catherine Hardwicke, yang memakai dongeng “Little Red Riding Hood” karangan Charles Perrault sebagai basis cerita. Alih-alih seorang gadis kecil yang hendak mengunjungi rumah nenek dan bertemu dengan serigala buas di perjalanan, pada film si kerudung merah ditampilkan sebagai seorang gadis dewasa muda yang kawin lari karena perasaan cintanya kepada seorang penebang kayu ditentang oleh orangtua sang gadis. Dalam pelarian, mereka bertemu dengan manusia serigala dan konflik pun dimulai dari sana. Setting film ini juga digambarkan sangat gelap dan berkebalikan dengan basis ceritanya yang masih ada kesan ceria.

“Red Riding Hood” (2011)
(Sumber Gambar : www.imdb.com)

Poin ketiga adalah cerita yang tidak mengadaptasi secara utuh dongeng-dongeng klasik yang bersangkutan, melainkan ditulis ulang sebagai semacam fan-fiction yang meng-alternatif-kan hampir keseluruhan aspek cerita aslinya. Hal ini menimbulkan kesan seolah-olah film tersebut berisi cerita baru yang sangat berbeda dari yang kita kenal sebelumnya.

Ambil contoh film “Snow White and The Huntsman” (2012) oleh Rupert Sanders. Dari namanya, pembaca tentu bisa menebak dari mana asal-usul cerita dalam film tersebut. Tetapi perhatikan judulnya yang diberi embel-embel “…and The Huntsman”. Konon pemilihan judul film menjadi salah satu tanda apakah sebuah film setia dengan sumber adaptasinya atau tidak,  yang mana dibuktikan pada film ini di mana  Snow White justru terbangun karena ciuman sang Huntsman.

“Snow White and The Huntsman” (2012)
(Sumber Gambar : www.imdb.com)

Contoh lainnya terdapat dalam film “Hansel and Gretel Witch Hunter” (2013) oleh Tommy Wirkola. Mendengar nama Hansel dan Gretel, pembaca mungkin akan terbayang pada kisah populer mengenai sepasang kakak beradik yang tersesat setelah ditelantarkan ayah dan ibu tirinya di dalam hutan, di mana keduanya menemukan sebuah rumah kue yang ternyata milik penyihir jahat. Nah, film garapan Wirkola yang penuh aksi ini dibuat ibarat sekuel, yang mengetengahkan Hansel dan Gretel 15 tahun setelah “insiden rumah kue”  tersebut, di mana kini mereka adalah sepasang kakak beradik pemburu penyihir.

Before and After…Which One Do You Like Better?

Itu baru segellintir dari deretan film live action berdasarkan dongeng klasik yang telah rilis hingga 2013. Masih ada lagi film “Jack The Giant Slayer” (2013) hasil penyutradaraan Bryan Singer  dan “Maleficent”, sebuah film adaptasi bebas dari kisah “Sleeping Beauty” (“Putri Tidur”) yang masih menunggu rilisnya pada 2014 nanti.

Pertanyaannya adalah, kira-kira sampai kapankah trend ini akan bertahan? Apakah mampu menyaingi trend adaptasi komik superhero di masa depan?

Dilihat dari sejumlah review dari fans dan kritikus film yang telah beredar, kelihatan bahwa animo masyarakat akan film-film sejenis masih belum surut. Tapi yang patut dipetimbangkan adalah, kualitas film itu sendiri yang seolah hanya sekedar gembar-gembor visual effects tanpa disertai akting dari aktor-aktris yang memadai, serta jalan cerita yang “dipelintir” di sana-sini  hingga akhirnya  menjadi suatu kelemahan tersendiri yang nantinya bakal menjadi penentu nasib dari fenomena ini.

Tuesday, April 9, 2013

Membayangkan Indahnya Hidup dalam Istana Dongeng


Pada kategori buku dongeng, kadang cara pengemasan berperan penting untuk lebih menarik perhatian calon konsumen. Misalnya pada kumpulan buku dongeng dunia “Istana Dongeng” (1997, PT. Tira Pustaka) yang akan dibahas kali ini.

 “Istana Dongeng” Tampak Depan-belakang
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)

“Istana Dongeng” ketika Dibuka
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)

Sesuai namanya, seri dongeng yang dikemas sesuai hasil rancangan illustrator Rick Farley ini mengadaptasi konsep sebuah istana atau medieval castle (kastil abad pertengahan) yang memuat 12 judul buku dongeng dunia seukuran saku (7,5 cm x 11,5 cm). Buku-buku dongeng ini kebanyakan adalah versi terjemahan dari judul-judul karya Perrault, H.C Andersen atau Brothers Grimm yang sangat klasik seperti “Puss In Boots” (“Kucing Bersepatu”), “Thumbelina” (“Si Imut-Imut”), dan lain sebagainya.

12 Judul Buku Dongeng yang terdapat “Istana Dongeng”
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)

 “Istana Dongeng” ini juga dilengkapi beberapa jendela dan sebuah pintu gerbang mini yang bisa dibuka melalui sisi depan kemasan, plus bonus berupa 10 buah standing figure penghuni istana seperti raja, ratu, pangeran, putri, pelayan dan badut istana. Dengan demikian, jika seluruh buku di dalamnya dikeluarkan, “Istana Dongeng” ini akan bisa betul-betul dimainkan sebagaimana mestinya sebuah istana di era abad pertengahan, ibarat main rumah-rumahan sesuai kreativitas pemiliknya masing-masing.

Pintu Gerbang yang Bisa Dibuka
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)

Walau jumlah bukunya ada selusin, penyimpanannya sangat praktis dan dijamin rapi karena kemasan “Istana Dongeng” ini bisa berfungsi sebagai rak buku portable yang bisa dengan mudah ditenteng untuk dipindahkan dan tidak berat karena buku-bukunya berukuran kecil. Bagaimana dengan kualitas ilustrasi dan keterbacaan kata di dalamnya? Sejauh ini penulis tidak mengalami kesulitan berarti saat membacanya, sementara untuk ilustrasi dalam maupun luar (sampul/kover) dibuat dengan menggunakan teknik tradisional oleh ilustrator yang berbeda-beda dan bisa dikatakan sederhana, tapi menarik.

Beberapa Contoh Ilustrasi pada Buku
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)

Dongeng-dongeng di sini memang tidak selalu bercerita tentang kehidupan di istana kerajaan, tetapi membaca dongeng sambil berkhayal tentang bagaimana rasanya ‘hidup’ di dalam istana sepertinya menyenangkan :D

Saturday, April 6, 2013

Bermain Sambil Berpetualang di Dataran Oz


Kalau menyebut kata ‘Oz’, mungkin pembaca akan lebih teringat pada sebuah film berjudul “Oz : The Great & Powerful”  yang baru diputar beberapa waktu lalu di bioskop-bioskop daripada sebuah cerita dongeng masa kanak-kanak. Ya, serial “Oz” aslinya memang merupakan satu dari beberapa literatur yang melegenda, menjadi mega-hit di pasaran dan masih mampu bertahan hingga kini meski usianya terbilang sudah seabad lebih.

Diawali dari sebuah buku berjudul “The Wonderful Wizard of Oz” (1900) karangan L. Frank Baum, yang bercerita tentang petualangan Dorothy Gale bersama anjingnya Toto, di mana keduanya tersapu angin puyuh ke sebuah dataran asing bernama Oz (Land of Oz). Mereka bertemu kawan seperjalanan yang aneh bin ajaib seperti Scarecrow (Manusia Jerami), Tin Woodman (Robot Penebang Kayu), dan Cowardly Lion (Singa Pengecut). Bersama-sama, mereka menghadapi rintangan dari pihak antagonis seperti penyihir barat (Wicked Witch of The West) dan para pasukannya yang berniat menyingkirkan Oscar Zoroaster Phadrig Isaac Norman Henkel Emmanuel Ambroise Diggs a.k.a penyihir Oz.



Tokoh Utama dalam “The Wonderful Wizard of Oz”


Selain versi asli yang bercerita tentang Dorothy dkk, masih ada lagi 13 seri lainnya dengan peristiwa yang berbeda-beda. Sekedar info, versi adaptasi movie yang digarap oleh sutradara Sam Raimi adalah ‘prekuel’ dari versi asli serial “Oz” yang ditulis oleh L. Frank Baum pada 1900-1920 silam. Jadi, jangan berharap menemukan cerita yang sama seperti di film ada di antara ke-14 seri “Oz”, karena memang cerita dalam film bukan berasal dari hasil tulisan resmi L. Frank Baum sendiri. Dengan kata lain, karya besutan Sam Raimi hanyalah satu di antara puluhan adaptasi bebas lain yang terinspirasi dunia Oz atau bisa disebut juga dengan spin-off .

Bicara mengenai serial “Oz” dan adaptasinya, ada sebuah ‘buku’ dari serial ini yang sangat menarik untuk ‘dimainkan’. Mungkin “The Wizard of Oz : Game Book” (Grim Press, 1995)  ini lebih tepat disebut sebagai sebuah “papan permainan yang menyamar sebagai sebuah buku” atau “buku permainan”. Karena meskipun tampilan luarnya seperti buku hardcover berukuran besar, isinya ternyata adalah cerita “The Wonderful Wizard of Oz” yang dikemas ke dalam bentuk permainan sehingga orang yang ‘membaca’-nya bisa seolah ikut masuk ke dalam ceritanya.

“The Wizard of Oz : Game Book”
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)


Bagaimana tidak? Tiap halaman, kita disuguhi oleh macam-macam permainan tradisional seperti ular tangga, hom-pim-pah, dan banyak lagi--tapi dengan gaya yang Oz banget dan semuanya berhubungan dengan inti cerita “The Wonderful Wizard of Oz” secara keseluruhan. 

Beberapa Isi Halaman dari Buku Permainan “The Wizard of Oz : Game Book”
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)


Sebetulnya, buku permainan ini dilengkapi dengan sebuah dadu di bagian kanan bawah halaman. Dadu tersebut berupa tombol elektrik berbentuk lingkaran dan memiliki lampu-lampu kecil berwarna merah di tiap warna mata dadu untuk membantu jalannya  permainan. Namun seperti terlihat pada foto - foto di atas, tombol dadu dalam buku telah hilang dari peredarannya.

Kenapa bisa sampai hilang? Karena kalau baterainya habis, kita terpaksa harus mencopotnya dari buku dan mengisi ulang dengan cara memutar sekrup yang ada di bagian belakang tombol dadu tersebut. Sayangnya setelah selesai mengisi ulang, penulis lupa di mana meletakkannya dan jadilah tombol dadu itu tidak jelas rimbanya sampai sekarang (TT_TT).

Oke, sudah dulu curhatnya. Karena tombol dadu itu  sudah tak jelas keberadaannya, saya coba rekonstruksi ulang seperti apa wujud tombol  dadu tersebut melalui gambar di bawah ini :



Tombol yang Digunakan sebagai Dadu Permainan (Ilustrasi)
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)


Jika bagian tengah (bulatan merah) pada tombol dadu ditekan, maka lampu-lampu mini berwarna merah di sekelilingnya akan menyala berkedip-kedip secara bergantian dan perlahan berhenti pada salah satu warna mata dadu. Pemain harus melangkah dengan mengikuti di mana lampu tersebut berhenti. Misalnya pada gambar di bawah ini, jika lampu berhenti pada mata dadu berwarna oranye yang menunjuk ke angka 3, maka kamu harus menjalankan bidak milikmu sebanyak 3 langkah, dan begitu seterusnya.


Contoh Permainan dalam Buku Permainan “The Wizard of Oz : Game Book”
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)


Wujudnya yang seperti buku sangat ergonomis dan praktis, membuatnya mudah dibawa ke mana-mana. Grafisnya keseluruhan 2D, tetapi pada beberapa bagian terkesan seperti timbul, seolah-olah karakter-karakter tersebut disusun dulu dalam bentuk clay kemudian dipotret dan digabungkan dengan latar belakang.

Penggunaan tombol elektronik sebagai dadu dalam permainan tradisional juga bisa dibilang sebuah inovasi baru yang canggih pada masanya. Aturan main masing-masing permainan sebenarnya cukup simpel karena tinggal mengikuti instruksi yang ada di setiap halaman, hanya saja sebagai barang impor, patut diingat bahwa buku permainan ini sepenuhnya berbahasa Inggris termasuk pada instruksi permainannya. Jadi selain sebagai media hiburan yang  membantu perkembangan fungsi psikomotorik anak, juga bisa sambil belajar berbahasa asing :D

Yang mungkin disayangkan adalah, bahwa buku permainan ini sekarang sudah jadi barang langka karena cuma bisa ditemukan di situs-situs jual beli tertentu atau pelelangan dan harganya bisa saja tidak murah lagi.

Nah, adakah di antara kalian yang tertarik untuk berburu ‘harta dari Oz’ ini? ;)