Translate

Friday, June 7, 2013

Some Classic Pop Up Tales Out There

Kenal dengan istilah pop-up?

Kalau dalam konteks literatur, pop up merupakan sebuah istilah untuk menyebut bagian halaman dari sebuah buku, yang jika kita buka maka akan ada partisi yang muncul atau timbul keluar melampaui batas halaman atau permukaan kertas seperti efek Tiga Dimensi (3D). Efek 3D tersebut didapatkan dari hasil teknik multi - level atau multi - layer yang contoh sederhananya bisa dilihat pada diagram geometrik di bawah ini.

Diagram Teknik Dasar Layer/Level pada Buku Pop Up
(Sumber Diagram : http://en.wikipedia.org/wiki/File:Popup-diagram.svg)

Halaman yang memuat efek pop up dari sebuah buku bisa hanya satu halaman saja atau seluruh halaman. Jenis buku seperti ini termasuk ke dalam golongan buku interaktif, dan yang kan dibahas dalam artikel ini adalah yang berada dalam kelompok buku anak - anak interaktif (Interactive Children Books).

Sebagai contoh, saya akan bahas salah satu buku pop up dari seri “A Magic 3 - Dimensional Fairy Tale World” (2007) yang mengadaptasi cerita “Beauty and The Beast”. Soal ceritanya memang tidak ada yang baru : tentang seorang pangeran yang dikutuk menjadi seekor makhluk buruk rupa (Beast), hingga akhirnya kutukan itu digagalkan oleh seorang gadis jelita (Beauty).

    
Sampul Depan dan Belakang “Beauty and The Beast : A Magic 3 Dimensional Fairy Tale World”
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)

Tapi keterangan pada sampulnya menunjukkan keistimewaan seri ini, yaitu efek 3D yang didapatkan dari komponen - komponennya yang disusun secara multi - level (bertingkat) atau multi - layer  (berlapis).

Penampakan Sistem Multi-Layer atau Multi - Level dalam Buku Jika Dilihat Tampak Atas
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)

Sistem multi layer atau multi level itulah yang mampu memberikan kesan seolah-olah ilustrasi karakter atau setting dalam tiap halamannya memiliki volume (kedalaman) dan memiliki tekstur yang menonjol dari permukaan halamannya. Perbedaannya dari permukaan halaman biasa dapat dilihat melalui contoh halaman pada gambar - gambar berikut, di mana halaman sebelah kiri datar permukaannya sementara bagian kanan bervolume :


Beberapa Halaman dalam Buku
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)

Selain “Beauty and The Beast”, seri buku pop up ini juga menawarkan beberapa judul dongeng lainnya. Namun seperti kebanyakan buku pop up yang beredar di Indonesia, yang satu ini pun menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa utama. Bukunya berukuran mini (16,5 cm x 14 cm), sangat mobile dan dari segi harga tergolong sangat terjangkau.

Lalu, apa fungsi sebenarnya dari efek pop up ini? Fungsinya lebih sebagai fitur penambah estetika (nilai keindahan) dari sebuah buku, di mana keberadaannya bisa menarik perhatian orang, lebih daripada yang bisa dilakukan buku - buku pada umumnya yang hanya memiliki permukaan datar dengan tulisan dan gambar di atasnya.

Mengesampingkan kecanggihannya dalam hal estetika dan interaksi, tentu saja buku pop up bukanlah jenis buku yang tanpa cela. Adanya lipatan - lipatan pada sistem layer/level itu memberikan ketebalan ekstra dan bobot bukunya secara tidak langsung. Hal ini menjadi kelemahan tersendiri pada buku jenis pop up, karena dengan demikian, jumlah halaman dan informasi yang bisa disajikan dalam sebuah buku pop up semakin sedikit karena harus mempertimbangkan tebal - tipis lipatan yang akan dibuat.

Buku Pop Up Umumnya Lebih Tebal dari Buku Biasa
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)

Berdasarkan catatan sejarahnya, memang buku pop up awalnya ditujukan untuk kalangan yang lebih dewasa namun seiring waktu, buku jenis ini akhirnya menjadi konsumsi anak-anak juga. Ironisnya, buku pop up ternyata sulit cocok dengan kecenderungan anak yang selalu ingin tahu, karena biasanya mereka akan mencoba untuk meraih komponen pop up yang meski tidak sengaja sekalipun, bisa saja merusak komponen pop up di dalamnya sampai robek atau cacat.

Kalau menurut saya sendiri sih, sah - sah saja memberikan buku pop up pada anak - anak, tetapi sepertinya memang dibutuhkan bimbingan orang tua saat membaca dan berinteraksi dengan komponen - komponennya. Sehingga anak - anak pun bisa merasakan sendiri keajaiban buku - buku bernilai seni tinggi ini.

Buat bloggers yang penasaran dengan efek - efek pop up lainnya, bisa kunjungi channel berikut :



Selamat menikmati, dan sampai jumpa di kesempatan berikutnya~! ;D

Wednesday, June 5, 2013

Memadukan Kemasan Produk Mainan dengan Cerita Rakyat

Minggu ini, saya ingin berbagi cerita tentang sebuah proyek desain yang kebetulan juga merupakan tugas akhir saya di mata kuliah Pracetak dan Kemasan Desain Komunikasi Visual beberapa waktu silam. Yah, sesekali saya juga mau dong, diekspos tentang bagaimana proses saya saat mendesain. Masa dari kemarin punya orang lain melulu yang saya bahas? Hehehe…

Maaf sebelumnya kalau artikel kali ini agak lebih panjang daripada biasanya, tapi saya jamin bloggers nggak bakal bosan bacanya deh ;D

Nah, entri blog saya kali ini sangat berhubungan dengan seluk beluk perancangan kemasan atau packaging dari sebuah benda unik yang nggak sengaja saya temukan waktu diminta mencari sebuah produk yang bisa dibuatkan ulang kemasannya (re-desain). Produk yang saya temukan ini berupa patung kayu menyerupai kodok yang diasah halus, dengan punggung bergigir yang jika digesek  perlahan dengan tongkat kayu kecil bisa menghasilkan bunyi - bunyian.

Kondisi Si Kodok Pas Baru Dibeli
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)

Sewaktu menemukannya di gerai Mirota daerah Surabaya, yang membalutnya hanya selembar bungkus plastik tanpa ada informasi apapun tentang produk tersebut. Jangankan tentang asal usul atau bahan bakunya, keterangan yang menjelaskan nama benda ini saja tidak ada. Sewaktu saya tanya pihak tokonya pun, mereka cuma menjawab kalau itu ‘mainan kodok - kodokan’.

Karena nggak mungkin saya menyebut ‘mainan kodok-kodokan’ sebagai nama produk ini di kemasan saya nantinya, saya lalu mencari sendiri keterangan mengenai si kodok atau disebut juga studi eksisting. Kebetulan Kakak saya juga punya satu, dan dia bilang kalau asal si kodok itu dari Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Setelah saya coba cross check datanya ke sumber lain seperti internet, ternyata saya menemukan bahwa mainan ini memang dari Lombok, walau aslinya berasal dari Thailand yang memuja kodok sebagai simbol keberuntungan dan kesehatan.

Kalau begitu, bagaimana bisa cenderamata ini sampai ke Pulau Lombok? Simply karena keduanya (Thailand dan Lombok) konon mempercayai mitos yang sama, yaitu bahwa saat kodok - kodok berbunyi maka pertanda hujan bakal turun. Berangkat dari mitos itulah mainan ini dibuat, dan mereka percaya kalau sampai dibunyikan, hujan bisa jadi akan turun juga. Untuk lebih spesifiknya lagi, kodok yang menjadi model mainan ini berasal dari jenis Crested Toad (Ingerophrynus biporcatus) atau Kodok Buduk. Kodok ini umumnya berwarna kecoklatan, memiliki deretan gigir di sepanjang punggung dan bertempat  tinggal di rawa-rawa di daerah Lombok dan Bali.

Selain itu, saya temukan juga fakta bahwa si kodok ini punya nilai edukasi yang tinggi untuk perkembangan motorik halus dan ketajaman panca indera anak, terutama sistem pendengaran. Soal nama, benda ini sebetulnya nggak punya nama pasti, cuma kebanyakan online shop yang menjualnya menyebut mainan ini dengan ‘Croaking Frog’, atau ‘Croaking Toad’, ‘Singing Frog’, etc yang kalau diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa lokal jadi ‘Kodok Ngorek’. Nama itulah yang akhirnya saya pakai sebagai nama produk ini.

Selesai mengumpulkan data, akhirnya saya putuskan bahwa mainan ini paling cocok ditujukan pada konsumen anak- anak. Berdasarkan analisa yang saya lakukan, mainan ini punya kelebihan soal fungsi, tapi tidak banyak yang mengenalnya. Saya pun mulai membuat beberapa rancangan yang bisa sekaligus memperlihatkan identitas produk unik ini, dan jadilah beberapa konsep awal kemasan yang sekiranya cocok.

Alternatif Konsep Rancang Bangun Kemasan
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)

Setelah mengajukan alternatif di atas kepada dosen pembimbing, diputuskan bahwa saya akan memakai ide mengemas produk ini menyerupai sebuah ‘Story Book’ atau ‘Children Book’ tentang mainan kodok ajaib penanda hujan.

Dari sana, mulailah saya merancang bangun kemasannya. Pertama-tama saya buat dulu prototype yaitu sebuah kotak yang menyerupai bentukan buku yang nantinya akan dijadikan penampung mainan Kodok gorek tersebut.

Prototype Rancang Bangun Kemasan
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)

lanjut ke ilustrasi sampul kemasan, saya membuatnya seolah mengesankan kehidupan komunitas kodok di rawa - rawa untuk menyamakan dengan sejarah produknya. Tekstur di bagian pinggir sampul dimaksudkan untuk memperlihatkan kesan antik dan unsur tanah pada ilustrasinya secara keseluruhan.

Sketsa Ilustrasi Sampul/Kaver Kemasan Kodok Ngorek
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)

Ilustrasi Sampul/Kaver Kemasan Kodok Ngorek
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)

Sampul/Kaver Kemasan Kodok Ngorek Versi Final dengan
Teks Nama dan keterangan Produk
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)

Ilustrasi dalam sengaja saya buat sama dengan ilustrasi sampul, agar konsumen mendapat kesan bahwa keduanya berada di lokasi yang sama, yaitu di area rawa - rawa. Yang membedakan adalah keberadaan kodok-kodok yang bermain-main di sekitar kolam. Kodok-kodok tersebut ditiadakan pada ilustrasi dalam dimaksudkan agar konsumen berpikir bahwa si mainan kodok di dalamnya adalah salah satu dari kodok - kodok itu sendiri yang bisa dikeluarkan dari dalam untuk diajak bermain bersama - sama.


Sketsa Ilustrasi Dalam Kemasan Kodok Ngorek
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)


Ilustrasi Dalam Kemasan Kodok Ngorek secara Umum
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)

Di bagian sampul dalam, saya berikan sedikit petunjuk cara memainkan Kodok Ngorek ini. Sebagai pelengkap setting, saya juga selipkan sedikit keterangan tentang produk yang telah saya temukan sebelumnya di tempat yang sama. Selain sebagai informasi tambahan bagi konsumen, keberadaan keterangan ini berguna untuk memberikan sedikit gambaran tentang latar belakang si kodok sehingga konsumen dapat mengembangkan imajinasinya.

Bagian Keterangan pada Sampul Dalam Kemasan Kodok Ngorek
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)


Setelah melalui proses panjang itu, jadilah ‘rumah’ baru buat si Kodok Ngorek kita ini!

Kemasan yang Sudah Jadi dan Si Kodok Ngorek
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)

Perancangan ini bermaksud mengoptimalkan fungsi dari alat musik Kodok Ngorek ini, di mana sebelum saya buatkan desain kemasannya yang berbentuk menyerupai buku cerita, alat ini cuma berfungsi sebagai mainan untuk iseng - iseng atau pajangan. Dengan keberadaan kemasan yang menyertainya, diharapkan dapat menyelaraskan panca indera yang dimiliki konsumen terutama yang masih dalam kelompok usia anak - anak. Di mana indera pendengaran dipertajam dengan bunyi - bunyian yang dihasilkan oleh mainan Kodok Ngorek ini, indera penglihatan oleh gambar-gambar pendukung pada kemasan dan rupa kodok itu sendiri, sedangkan indera peraba oleh bentuk mainan tersebut.

Diharapkan dari pengemasan ulang produk ini, orang tua akan membimbing anak dalam memainkannya, sehingga nanti bisa tercipta kedekatan antara orang tua dan anak yang menjadi target konsumen utamanya. Ini merupakan alasan lain mengapa desain kemasan ini mengadopsi gaya buku cerita anak-anak jaman dulu yang cukup tebal, namun menarik secara visual  dengan warna - warna cerah yang disukai anak sebagai pelengkap mainan yang dapat berfungsi sebagai semacam stage.

Dari sudut pandang desain sendiri, perancangan ulang ini bisa mengangkat value dari produk yang bersangkutan buka hanya dari segi harga saja yang bisa melebihi harga sebelum dipermak, tetapi juga nilai estetika dan fungsi baik bagi pengrajin terlebih bagi konsumen.

Penampakan Display Mainan Kodok Ngorek
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)

Secara pribadi, saya cukup senang dengan pencapaian saya pada desain kemasan ini. Tentu saja, rancangan ini masih memiliki kekurangan  yang masih bisa dikembangkan dan diperbaiki untuk mencapai hasil yang lebih maksimal dan lebih baik di kemudian hari, jika suatu hari nanti bisa benar-benar diwujudkan dalam bentuk kemasan produk yang nyata :D
                     

Well, see you next time!