(Sumber Gambar :Dokumentasi Pribadi)
Judul Buku :
Totto-chan, Gadis Cilik di Jendela
Judul Asli :
Totto-chan, The Girl At The Window
Penulis
: Tetsuko Kuroyanagi
Ilustrasi oleh : Chihiro Iwasaki
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama (Indonesia)
Tahun Terbit :
1981 (Jepang); 2003 (Indonesia, cetakan pertama)
Ukuran :
20 cm x 13,5 cm
Seorang gadis kecil bernama
Totto-chan yang baru duduk di bangku SD kelas 1, baru saja dikeluarkan dari
sekolah karena menurut para guru perilakunya ‘aneh’, sehingga mereka measa sudah
tidak sanggup lagi membimbingnya sebagai guru.
Oleh ibunya, Totto-chan kemudian
didaftarkan ke sebuah sekolah yang dianggap sama ‘aneh’-nya, yaitu Tomoe Gakuen
(“gakuen” adalah bahasa Jepang untuk “sekolah”-red).
Sekolah ini konon adalah satu-satunya sekolah yang memakai gerbong kereta api
untuk ruang kelasnya, tidak memaksa para murid untuk selalu duduk rapi di dalam
kelas, dan merupakan tempat di mana para guru maupun murid adalah seorang tua
dan anak-anak yang saling bersahabat. Berbagai macam peristiwa pun turut mewarnai
kehidupan baru Totto-chan di Tomoe Gakuen, yang mana secara perlahan tapi pasti
ikut membangun dirinya menjadi seorang manusia sejati.
Itulah cuplikan dari buku Totto-chan, Gadis Cilik di Jendela. Semacam rendezvous, bisa mendapat kesempatan untuk mengkaji buku ini lagi ke
dalam bentuk resensi setelah hal serupa pernah saya lakukan untuk pelajaran
Bahasa Indonesia saat masih SMU dulu. Orang boleh bilang ini buku lama, tetapi
harus diakui bahwa tema hubungan antara orang tua dan anak memang seolah tak
pernah usang ditelan zaman, dan apa yang terjadi dalam buku ini menjadi salah
satu contoh konkret dari pernyataan itu.
Gaya penceritaan yang dibawa
Tetsuko-san sangat ringan, jadi memang tidak aneh kalau dikatakan bahwa anak
usia 7 tahun saja mampu membacanya hingga tuntas. Setiap cerita dalam buku ini
diambil melalui sudut pandang sang narator sebagai orang ketiga, yaitu si kecil
Totto-chan yang kini adalah Tetsuko Kuroyanagi, seorang pembawa acara TV sekaligus
aktivis kegiatan kemanusiaan di negara asalnya.
Nilai plus dari buku ini di
antaranya adalah bahwa setiap cerita yang dituturkan di dalamnya adalah nyata,
yang mana merupakan sepercik kisah perjalanan hidup semasa kecil sang pengarang
sendiri. Unsur sejarah itu jugalah yang mungkin membuat buku ini begitu sukses
pada masanya, bahkan hingga saat ini pun masih terus dicetak ulang, diterjemahkan
ke berbagai bahasa dan diminati oleh banyak kalangan sebagai salah satu
literatur pendidikan anak.
Sampul buku berwarna putih seolah
mewakili ‘polos’-nya anak-anak. Begitu pun ilustrasi sampul maupun dalam
buku yang sama-sama simpel, hanya berupa goresan-goresan pensil dan sapuan cat air yang menampakkan ekspresi anak-anak, itu pun frekuensi munculnya sangat
jarang. Meski begitu, gambar-gambar
tersebut cukup berhasil memberi kesan kesederhanaan yang berusaha disajikan oleh
buku ini.
Ilustrasi dalam Buku
(Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi)
Alur kisah Totto-chan mungkin
bisa jadi kelewat simpel bagi sebagian orang, sehingga membuat jenuh di
pertengahan cerita, karena gaya penceritaannya datar dan isinya melulu tentang
tingkah polah Totto-chan sehari-hari yang begitu polos dalam mencoba memahami
dunia sekitarnya.
Namun, hal tersebut sebenarnya
wajar saja karena judul ini adalah cerita yang diangkat berdasarkan fakta yang
benar-benar terjadi, sehingga menambahkan unsur seperti fantasi atau lainnya
yang tidak perlu malah bisa mengganggu keabsahan cerita. Dibandingkan dengan
buku-buku lain bertema serupa, yaitu tema “keseharian anak-anak dan dunia di
sekitarnya” seperti dalam kisah - kisah karangan Roald Dahl (Charlie and The Chocolate Factory; Matilda) atau Enid Blyton (Lima Sekawan), buku Totto-chan, Gadis Cilik di Jendela ini menjadi unik dan sangat membumi,
dengan cerita yang mengena tanpa harus dibumbui unsur fantasi fiktif.
Contoh Buku Anak-anak Berunsur Fiktif
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)
Tesuko-san juga sempat merilis sekuelnya dengan judul Anak-Anak Totto-chan : Perjalanan untuk Kemanusiaan Anak-anak Dunia (Totto-chan’s
Children: A Goodwill Journey for The Children of The World) (2010) yang mana
menceritakan pengalaman Totto-chan setelah dewasa sebagai Tetsuko Kuroyanagi,
yang melakukan perjalanan kemanusiaan untuk memantau anak-anak yang kurang
kasih sayang dan butuh perlindungan. Dibandingkan buku sebelumnya, konten Anak-anak Totto-chan cenderung lebih berat dengan foto-foto nyata hasil dokumentasi
yang menjadikan buku ini semacam jurnal perjalanan.
Buku Anak-Anak
Totto-chan : Perjalanan untuk Kemanusiaan Anak-anak Dunia
(Totto-chan’s Children:
A Goodwill Journey for The Children of The World)
(Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi)
Di masa sekarang pun, tentu kita
sudah sering melihat anak-anak-dari berbagai
tempat- yang ironisnya--oleh orang-orang yang lebih tua-- kurang
dipandang sebagai manusia. Belum lagi mereka yang diajak untuk terlibat dalam
angkatan bersenjata, bekerja keras mencari nafkah, kelaparan, atau dipaksa melakukan
perbuatan asusila lainnya yang semestinya tidak mereka lakukan. Seolah-olah,
mereka tidak mendapatkan tempat sebagaimana mestinya seorang manusia yang harus
dijaga, dihargai dan perlu mendapatkan perhatian khusus dari sekitarnya untuk
dapat meningkatkan potensi mereka sebagai seorang manusia sejati di masa depan.
Bukankah semestinya kita semua mengetahui,
bahwa setiap anak adalah unik, adalah manusia kecil-manusia kecil yang jika diperlakukan
dengan baik maka akan tumbuh menjadi sebaik-baiknya manusia?