Translate

Sunday, April 14, 2013

Fairy Tale Into Live Action Movie…Another Trend in The Future?

(PERINGATAN : ULASAN BERIKUT INI MENGANDUNG SPOILER DARI FILM-FILM YANG DIULAS)

Setelah dunia diberondong dengan film layar lebar berdasarkan tokoh-tokoh komik superhero Marvel - DC, beberapa tahun belakangan ini muncul sebuah fenomena baru yang mengetengahkan kisah-kisah fairy tale (dongeng klasik) sebagai  trend film layar perak.

Mengadaptasi kisah dongeng menjadi sebuah film sebetulnya memang bukan sebuah hal baru. Terutama bagi Walt Disney Pictures, yang sejak awal masa berdirinya telah sukses mengadaptasikan kisah-kisah dongeng klasik ke dalam bentuk animasi untuk target konsumen keluarga. Sebut saja “Snow White” (1937); “Pinnochio” (1940); dan banyak lagi dongeng yang telah diangkat menjadi film animasi layar lebar. Kesemuanya merupakan adaptasi langsung dengan hanya beberapa perubahan detail yang tidak menyeluruh pada nuansa maupun jalan cerita (pengecualian pada film “The Little Mermaid” (1989), yang benar-benar mengubah akhir kisahnya menjadi berkebalikan dengan kisah asli karangan H.C Andersen).
   
Film-film Adaptasi Dongeng Karya Disney, “Snow White” (1937) & “Pinnochio” (1940)
(Sumber Gambar : fanpop.com )

Kembali ke adaptasi dongeng keluaran masa kini, yang diawali dengan kemunculan “Alice in Wonderland” arahan Tim Burton pada 2010. Film ini merupakan ‘sekuel’ hasil gabungan dua buku Lewis Caroll yang berjudul “Alice Adventures in Wonderland” (“Alice di Negeri Ajaib”) dan “Through The Looking Glass” (“Alice di Negeri Cermin”). Adegan dalam film menyatukan CGI (Computer Graphic Imagery) nan memukau dari segi visual dengan aktor-aktris sungguhan, dan mengambil setting 10 tahun sejak Alice Kingsleigh mengunjungi Wonderland untuk pertama kali.

“Alice in Wonderland” oleh Tim Burton (2010)

Melihat animo masyarakat yang menerima film tersebut dengan cukup baik, film yang dibuat berdasarkan cerita-cerita dongeng dunia pun akhirnya semakin banyak bermunculan di tahun-tahun berikutnya. Menariknya, ada beberapa ciri menonjol pada film-film tersebut yang seolah mengikuti jejak “Alice in Wonderland”. Antara lain adalah bentuknya tidak sekedar animasi lagi melainkan live action yang dipadu padankan dengan setting dan efek visual berbasis CGI, misalnya pada film “Oz The Great and Powerful” hasil penyutradaraan Sam Raimi.

 “Oz The Great and Powerful” (2013)
(Sumber Gambar: nerdist.com )

Ciri kedua adalah nuansa cerita yang cenderung ‘gelap’ dan terkesan ‘dewasa’. Seperti pada film “Red Riding Hood” (2011) yang disutradarai oleh Catherine Hardwicke, yang memakai dongeng “Little Red Riding Hood” karangan Charles Perrault sebagai basis cerita. Alih-alih seorang gadis kecil yang hendak mengunjungi rumah nenek dan bertemu dengan serigala buas di perjalanan, pada film si kerudung merah ditampilkan sebagai seorang gadis dewasa muda yang kawin lari karena perasaan cintanya kepada seorang penebang kayu ditentang oleh orangtua sang gadis. Dalam pelarian, mereka bertemu dengan manusia serigala dan konflik pun dimulai dari sana. Setting film ini juga digambarkan sangat gelap dan berkebalikan dengan basis ceritanya yang masih ada kesan ceria.

“Red Riding Hood” (2011)
(Sumber Gambar : www.imdb.com)

Poin ketiga adalah cerita yang tidak mengadaptasi secara utuh dongeng-dongeng klasik yang bersangkutan, melainkan ditulis ulang sebagai semacam fan-fiction yang meng-alternatif-kan hampir keseluruhan aspek cerita aslinya. Hal ini menimbulkan kesan seolah-olah film tersebut berisi cerita baru yang sangat berbeda dari yang kita kenal sebelumnya.

Ambil contoh film “Snow White and The Huntsman” (2012) oleh Rupert Sanders. Dari namanya, pembaca tentu bisa menebak dari mana asal-usul cerita dalam film tersebut. Tetapi perhatikan judulnya yang diberi embel-embel “…and The Huntsman”. Konon pemilihan judul film menjadi salah satu tanda apakah sebuah film setia dengan sumber adaptasinya atau tidak,  yang mana dibuktikan pada film ini di mana  Snow White justru terbangun karena ciuman sang Huntsman.

“Snow White and The Huntsman” (2012)
(Sumber Gambar : www.imdb.com)

Contoh lainnya terdapat dalam film “Hansel and Gretel Witch Hunter” (2013) oleh Tommy Wirkola. Mendengar nama Hansel dan Gretel, pembaca mungkin akan terbayang pada kisah populer mengenai sepasang kakak beradik yang tersesat setelah ditelantarkan ayah dan ibu tirinya di dalam hutan, di mana keduanya menemukan sebuah rumah kue yang ternyata milik penyihir jahat. Nah, film garapan Wirkola yang penuh aksi ini dibuat ibarat sekuel, yang mengetengahkan Hansel dan Gretel 15 tahun setelah “insiden rumah kue”  tersebut, di mana kini mereka adalah sepasang kakak beradik pemburu penyihir.

Before and After…Which One Do You Like Better?

Itu baru segellintir dari deretan film live action berdasarkan dongeng klasik yang telah rilis hingga 2013. Masih ada lagi film “Jack The Giant Slayer” (2013) hasil penyutradaraan Bryan Singer  dan “Maleficent”, sebuah film adaptasi bebas dari kisah “Sleeping Beauty” (“Putri Tidur”) yang masih menunggu rilisnya pada 2014 nanti.

Pertanyaannya adalah, kira-kira sampai kapankah trend ini akan bertahan? Apakah mampu menyaingi trend adaptasi komik superhero di masa depan?

Dilihat dari sejumlah review dari fans dan kritikus film yang telah beredar, kelihatan bahwa animo masyarakat akan film-film sejenis masih belum surut. Tapi yang patut dipetimbangkan adalah, kualitas film itu sendiri yang seolah hanya sekedar gembar-gembor visual effects tanpa disertai akting dari aktor-aktris yang memadai, serta jalan cerita yang “dipelintir” di sana-sini  hingga akhirnya  menjadi suatu kelemahan tersendiri yang nantinya bakal menjadi penentu nasib dari fenomena ini.

No comments:

Post a Comment

Mohon gunakan bahasa yang sopan dan pantas saat hendak berkomentar:)