(PERINGATAN : ULASAN
BERIKUT INI MENGANDUNG SPOILER DARI FILM-FILM YANG DIULAS)
Setelah dunia diberondong
dengan film layar lebar berdasarkan tokoh-tokoh komik superhero Marvel - DC, beberapa tahun belakangan ini muncul sebuah
fenomena baru yang mengetengahkan kisah-kisah fairy tale (dongeng klasik) sebagai
trend film layar perak.
Mengadaptasi kisah dongeng menjadi sebuah film
sebetulnya memang bukan sebuah hal baru. Terutama bagi Walt Disney Pictures, yang
sejak awal masa berdirinya telah sukses mengadaptasikan kisah-kisah dongeng klasik
ke dalam bentuk animasi untuk target konsumen keluarga. Sebut saja “Snow White” (1937); “Pinnochio” (1940); dan banyak lagi dongeng yang telah diangkat
menjadi film animasi layar lebar. Kesemuanya merupakan adaptasi langsung dengan
hanya beberapa perubahan detail yang tidak menyeluruh pada nuansa maupun jalan cerita
(pengecualian pada film “The Little
Mermaid” (1989), yang benar-benar mengubah akhir kisahnya menjadi berkebalikan
dengan kisah asli karangan H.C Andersen).
Film-film Adaptasi Dongeng Karya Disney, “Snow White” (1937) & “Pinnochio”
(1940)
(Sumber Gambar : fanpop.com )
Kembali ke adaptasi dongeng keluaran masa kini, yang
diawali dengan kemunculan “Alice in
Wonderland” arahan Tim Burton pada 2010. Film ini merupakan ‘sekuel’ hasil gabungan
dua buku Lewis Caroll yang berjudul “Alice
Adventures in Wonderland” (“Alice di Negeri Ajaib”) dan “Through The Looking Glass” (“Alice di Negeri Cermin”). Adegan dalam
film menyatukan CGI (Computer Graphic
Imagery) nan memukau dari segi visual dengan aktor-aktris sungguhan, dan mengambil
setting 10 tahun sejak Alice Kingsleigh mengunjungi
Wonderland untuk pertama kali.
“Alice in Wonderland” oleh Tim Burton (2010)
(Sumber Gambar : http://aliceinwonderland.wikia.com/wiki/Alice_in_Wonderland_(2010)
)
Melihat animo masyarakat yang menerima film tersebut
dengan cukup baik, film yang dibuat berdasarkan cerita-cerita dongeng dunia pun
akhirnya semakin banyak bermunculan di tahun-tahun berikutnya. Menariknya, ada
beberapa ciri menonjol pada film-film tersebut yang seolah mengikuti jejak “Alice in Wonderland”. Antara lain
adalah bentuknya tidak sekedar animasi lagi melainkan live action yang dipadu padankan dengan setting dan efek visual berbasis CGI, misalnya pada film “Oz The Great and Powerful” hasil
penyutradaraan Sam Raimi.
“Oz The Great and Powerful” (2013)
(Sumber Gambar: nerdist.com )
Ciri kedua adalah nuansa cerita yang cenderung ‘gelap’
dan terkesan ‘dewasa’. Seperti pada film “Red
Riding Hood” (2011) yang disutradarai oleh Catherine Hardwicke, yang
memakai dongeng “Little Red Riding Hood”
karangan Charles Perrault sebagai basis cerita. Alih-alih seorang gadis kecil yang hendak mengunjungi rumah nenek dan bertemu dengan serigala buas di
perjalanan, pada film si kerudung merah ditampilkan sebagai seorang gadis dewasa
muda yang kawin lari karena perasaan cintanya kepada seorang penebang kayu
ditentang oleh orangtua sang gadis. Dalam pelarian, mereka bertemu dengan
manusia serigala dan konflik pun dimulai dari sana. Setting film ini juga digambarkan sangat gelap dan berkebalikan
dengan basis ceritanya yang masih ada kesan ceria.
“Red Riding Hood” (2011)
(Sumber Gambar : www.imdb.com)
Poin ketiga adalah cerita yang tidak mengadaptasi secara
utuh dongeng-dongeng klasik yang bersangkutan, melainkan ditulis ulang sebagai
semacam fan-fiction yang
meng-alternatif-kan hampir keseluruhan aspek cerita aslinya. Hal ini menimbulkan kesan seolah-olah film tersebut berisi cerita baru yang sangat berbeda dari yang kita kenal sebelumnya.
Ambil contoh film “Snow
White and The Huntsman” (2012) oleh Rupert Sanders. Dari namanya, pembaca
tentu bisa menebak dari mana asal-usul cerita dalam film tersebut. Tetapi
perhatikan judulnya yang diberi embel-embel “…and
The Huntsman”. Konon pemilihan judul film menjadi salah satu tanda apakah
sebuah film setia dengan sumber adaptasinya atau tidak, yang mana dibuktikan pada film ini di mana Snow White justru terbangun karena ciuman sang
Huntsman.
“Snow White and The Huntsman” (2012)
(Sumber Gambar : www.imdb.com)
Contoh lainnya terdapat dalam film “Hansel and Gretel Witch Hunter” (2013) oleh
Tommy Wirkola. Mendengar nama Hansel dan Gretel, pembaca mungkin akan terbayang
pada kisah populer mengenai sepasang kakak beradik yang tersesat setelah
ditelantarkan ayah dan ibu tirinya di dalam hutan, di mana keduanya menemukan
sebuah rumah kue yang ternyata milik penyihir jahat. Nah, film garapan Wirkola
yang penuh aksi ini dibuat ibarat sekuel, yang mengetengahkan Hansel dan Gretel
15 tahun setelah “insiden rumah kue”
tersebut, di mana kini mereka adalah sepasang kakak beradik pemburu
penyihir.
Before and After…Which One Do You Like Better?
(Sumber Gambar : www.phuby.com
& www.filmofilia.com)
Itu baru segellintir dari deretan film live action berdasarkan dongeng klasik yang
telah rilis hingga 2013. Masih ada lagi film “Jack The Giant Slayer” (2013) hasil penyutradaraan Bryan Singer dan “Maleficent”,
sebuah film adaptasi bebas dari kisah “Sleeping
Beauty” (“Putri Tidur”) yang
masih menunggu rilisnya pada 2014 nanti.
Pertanyaannya adalah, kira-kira sampai kapankah trend ini akan
bertahan? Apakah mampu menyaingi trend adaptasi komik superhero di masa depan?
Dilihat dari sejumlah review dari fans dan kritikus film yang telah beredar, kelihatan bahwa animo masyarakat akan film-film sejenis masih belum
surut. Tapi yang patut dipetimbangkan adalah, kualitas film itu sendiri yang
seolah hanya sekedar gembar-gembor visual
effects tanpa disertai akting dari aktor-aktris yang memadai, serta jalan
cerita yang “dipelintir” di sana-sini hingga akhirnya menjadi suatu kelemahan tersendiri yang nantinya
bakal menjadi penentu nasib dari fenomena ini.
No comments:
Post a Comment
Mohon gunakan bahasa yang sopan dan pantas saat hendak berkomentar:)